Pemilu Serentak 2024: Bagaimana Me-Nusantara-kan Indonesia?

0
Yupiter Marenos Lada M.Par (Ketua Umum Gema Flobamora, Pendiri Lembaga Otonom Garda Jagad Nusantara (GARJATARA), Bacaleg PKN Kota Kupang Dapil Kota Raja)

Yupiter Marenos Lada M.Par (Ketua Umum Gema Flobamora, Pendiri Lembaga Otonom Garda Jagad Nusantara (GARJATARA), Bacaleg PKN Kota Kupang Dapil Kota Raja)

Oleh Yupiter Marenos Lada M.Par (Ketua Umum Gema Flobamora, Pendiri Lembaga Otonom Garda Jagad Nusantara (GARJATARA), Bacaleg PKN Kota Kupang Dapil Kota Raja)


Eforia masyarakat luas selama era reformasi hingga saat ini menghasilkan sebuah tata sosial dan adab komunikasi yang lebih terbuka dan tajam. Terlebih dalam penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan. Saat dimana setiap wilayah yang diberi wewenang untuk berotonomi lewat desentralisasi dari kebijakan pemerintah pusat, diharapkan agar pembangunan serta pemberdayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah dan daerah mengalami kesetaraan atau ber-keadilan sosial, sesuai dengan cita cita luhur bangsa dan impian masyarakat Nusantara.

Peralihan sistem sentralistik menjadi desentralistik diharapkan menjadi perlawanan terhadap terjadinya krisis ekonomi, krisis sosial, krisis pembangunan yang adil. Namun, kepercayaan kepada masyarakat belum sampai pada tahap kepuasan dan kebahagiaan.

Ini yang kemudian berimbas pada suksesi kekuasaan politik di pemerintahan pusat maupun daerah. Terjadi kegaduhan dan riak yang cukup sering. Kepuasan dan kegembiraan masyarakat luas bisa terlihat apabila kepemimpinan nasional hingga daerah terjadi pengulangan hingga periode ke dua terlepas dari strategi kontestasi para calon-calon baru yang memainkan program perubahan, program berkelanjutan, keberpihakan, persatuan nasional atau lain.

Di dalam ranah pemerintahan daerah sebagai pemegang otoritas otonomi daerah, semangat untuk reformasi jangan hanya dijadikan justifikasi terhadap berbagai perilaku oknum eksekutif (ASN) atau legislatif untuk pasif terhadap pembangunan sosial masyarakat dan memilih untuk mengenyangkan kepentingan sendiri. Sehingga arus reformasi yang kini tengah bergulir tidak dibelokkan dalam konteks yang keliru atau salah kaprah.

Salah paham terjadi dalam era reformasi merupakan bentuk perubahan diantaranya adalah:

  1. Adanya upaya untuk mengubah struktur pemerintahan pusat dan daerah ke arah yang lebih, ramping, agar lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan belanja anggaran yang kadang dianggap tidak proporsional dan cenderung dibarengi isu balas dendam politik atas pemerintahan sebelumnya.
  2. Adanya upaya yang lebih konkret untuk memberdayakan lembaga/organisasi ekonomi, pembangunan, sosial, politik yang selama ini harus netral namun disalahgunakan menjadi kuda tunggangan untuk kegiatan politik praktis.
  3. Adanya upaya dalam menenggelamkan fungsi dan peran setiap komponen yang dibangun dalam masyarakat yang semasa pemerintahan terdahulu tidak difungsikan setelah masa Pemilu selesai dan kontestan incumben dinyatakan kalah.

Saya  ingin menyoroti poin no 2 dan 3 di atas. Seharusnya proses reformasi pada setiap bidang kehidupan yang dimanifestasikan dalam otonomi wilayah dan daerah wajib menghadirkan, bahkan menguatkan kekayaan demokrasi sesuai budaya lokal, peluang bertumbuhnya organisasi sosial budaya, pengembangan pemikiran yang mempersatukan secara kekeluargaan, dan komunikasi kemasyarakatan dalam mengisi proses pengotonomian daerah.

Tetapi yang hadir saat ini, organisasi-organisasi sosial masyarakat yang sudah berdiri tersebut telah terkontaminasi seakan-akan dikonstruksikan untuk melumpuhkan peluang pembangunan kota itu sendiri.

Hadirnya Tokoh Masyarakat dan Lembaga Sosial

Dalam kondisi otonomi daerah yang yang masih awal, ada beberapa tokoh, kelompok organisasi yang telah memiliki peran, kontribusi dan pemikiran penting di dalam kemajuan daerah. Kita sebut saja mereka sebagai pihak atau stakeholder lokal, kita bisa menyebutnya sebagai elit lokal. Elit lokal merupakan kumpulan atau seseorang tokoh yang memiliki citra penting atau memiliki peran penting yang pemikiran nya menelaah dan mendayakan masyakarat di sekitar daerah tersebut. Tergantung dari nilai-nilai apa yang telah mendarah daging dari suatu daerah atau kota. Ada beberapa kualifikasi yang bisa menggambarkan bagaimana tokoh lokal tersebut mampu melakukan terobosan pembangunan di daerah tersebut, diantaranya adalah:

Benyamin Sueb tokoh Betawi di DKI Jakarta:

  1. Memiliki pencitraan yang penting di daerah tersebut.
  2. Memiliki peran dan kontribusi yang berpengaruh di daerah tersebut.
  3. Memiliki hubungan darah dengan tokoh lokal sebelumnya.
  4. Memiliki organisasi yang bisa membawa dirinya menjadi elit lokal.
  5. Memiliki pengaruh yang bisa sesuai dengan nilai-nilai lokal yang ada.

Pada zamannya, Benyamin Sueb memberikan gambaran bahwa pada umumnya masyarakat di DKI Jakarta sangat simpatik dengan adanya kontruksi ketokohannya dan dinilai sebagai salah satu “The Godfather of Jakarta”. Sentimen yang melekat bahwa bang Benyamin merupakan tokoh kharismatik terus-menerus mendarah daging di dalam masyarakat kota Jakarta, bahkan nilai-nilai yang ada pada tokoh tersebut turut membawa masyarakat kota meneruskan pengkontruksiaannya pada setiap bidang pembangunan saat ini, bukan saja berdampak pada DKI Jakarta namun secara Nasional.

Nilai-nilai yang ada pada beliau dianggap masyarakat lokal mampu mengintepretasikan nilai-nilai yang diusung suku Betawi terdahulu di Jakarta, yaitu semangat patriotisme di bidang budaya, sosial, dan kesenian.

Bukan saja tokoh masyarakat, tetapi lembaga otonom sosial kemasyarakatan pun harus memiliki potensi bagaimana membangun Nusantara lintas budaya, agama, dan suku teruji mampu membius masyarakat lokal yang haus akan nilai-nilai patriotisme yang dulu ada seperti Boedi Oetomo, NU, Jong Java, Jong Ambon, dan lain-lain, sebagai bagian “The Founding Institute of The Nation”. Sehingga hal ini bisa memberikan pengaruh positif pada masyarakat.

Sentimen pemikiran dan ideologi kebangsaan tersebut seakan-akan membawa organisasi kepada kekuatan sosial masyarakat yang terus meluas. Hal ini dimanifestasikan dalam menyebarnya sentimen-sentimen tersebut ke wilayah-wilayah lain di Nusantara.

Pada kesempatan yang ada pada saat itu, Lembaga Sosial Kemasyarakatan, Budaya, Lintas Iman dan sebagainya harus  muncul di permukaan dan memberikan kontribusinya kepada pemerintah dengan merepresentasikan dirinya dalam berbagai cara, diantaranya adalah:

  1. Ikut berpartisipasi lewat kegiatan pemahaman dalam Pemilu (info lokadata: tahun 2019 yakni Golput 19,24 persen / 36jt dari total PDT yakni 192,83 juta jiwa).
  2. Ikut berpartisipasi secara organisasi dalam pemilihan legislatif.
  3. Ikut memberikan pengaruh nilai-nilai yang ada pada organisasi pembawanya secara signifikan terhadap simpatisannya.

Hal di atas merupakan secuil dari sekian banyak aktivitas yang ada di tengah kita. Ada beberapa contoh lain yang bisa mengintepretasikan bagaimana elit lokal berkiprah di dalam dunia politik pasca reformasi. Hal ini tergantung bagaimana nilai-nilai yang ada di daerah tersebut mendarah daging.

Wacana seperti ini akan terus berkembang dalam kasus otonomi daerah, dimana akan terjadi sebuah siklus yang memberikan gambaran bahwa akan ada aktor-aktor lokal baru yang bermunculan dan lembaga-lembaga organisasi sosial politik.

Peranan Garjatara dalam Mengisi Kekuatan Tengah dari Pusat Hingga ke Tingkat Daerah

Garda Jagad Nusantara (GARJATARA) pun adalah sebuah proses reproduksi sosial yang terjadi dan memiliki kemampuan, semangat, dan kekuatan berdikari. Dimana diharapkan akan menjadi bagian dari pembangunan nasional dan kemajuan wilayah provinsi dan kota/kabupaten.

Memang dapat kita saksikan, bahwa dengan desentralisasi, elit lokal justru naik jenjang. Mulai birokrat lokal lama, pengusaha daerah, operator politik, preman dan sebagainya dengan melakukan akumulasi privat melalui patronase dan jejaring kelembagaan. Berbagai kendaraan politik mulai dimasuki, di mana partai bukan lagi sebagai agregator dan artikulator, tapi justru hanya sebagai persekutuan sesaat kepentingan elit. Tak heran bila banyak elit incumben yang senang lompat akrobatik dengan mudah. Begitu juga kita melihat, banyaknya pensiunan birokrat, yang ramai-ramai mewarnai partai politik, lalu meningkatkan posisi tawar-menawar dengan institusi-institusi politik yang ada. Ini menunjukkan bahwa, kekuatan lama mampu mereposisi diri dalam bentuk aliansi dengan kendaraan baru, lalu menguasai institusi demokrasi tersebut.

GARJATARA hadir sebagai kekuatan poros tengah (power mediator) antara elit lokal, pensiunan birokrat, pengusaha daerah, dengan masyarakat umum yang partisipatif. GARJATARA diharapkan meramaikan bursa organisasi sosial masyarakat dengan mengusung model alternatif tematik yang mengatas-namakan keputusasaan rakyat, ketidakberdayaan masyarakat dan menawarkan perubahan baru bagi masa depan pembangunan demokrasi ke-Nusantara-an.

Tak dapat disangkal, wadah GARJATARA akan kembalikan episentrum yang selama ini dipegang oleh elit yang merusak bukan saja secara nasional tapi lokal kembali kepada kutub yaitu Pancasila, NKRI, Nusantara dan Bhinneka Tunggal Ika. GARJATARA juga adalah bagian dari upaya mereduksi akumulasi monopoli kekuasaan, krisis ketahanan pangan, perang terhadap narkoter dan mengurangi jaringan patronase dan mempersempit gerak relasi oligarki lokal.

Lahirnya GARJATARA diharapkan mampu menjadi kekuatan tengah sosial kemasyarakatan baru dalam masa depan pembangunan dan kemajuan nusantara.

Salam Nusantara, Berdikari Melangkah, dan Gotong Royong Membangun.

*Opini ini merupakan tanggungjawab penulis seperti tertera, dan bukan merupakan tanggungjawab redaksi wartaakurat.com

Bagikan ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *